Selasa, 11 Juni 2013

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Ilmu social merupakan suatu bahan studi, atau program pengajaran yang khusus dirancang untuk kepentingan pendidikan/pengajaran yang di Indonesia yang diberikan dalam rangka usaha untuk memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan guna mengkaji gejala-gejala social agar daya tanggap, persepsi dan penalaran mahasiswa dalam menghadapi lingkungan sosialnya dapat ditingkatkan, sehinggan lebih peka terhadapnya Ilmu social juga tidak terlepas dengan yang namanya Tradisional serta adat istiadat, masyarakat, serta tempat tinggalnya yang saat ini yang akan dibahas adalah tentang desa baik desa Swadaya, Swakarya maupun Desa Swasembada. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa pokok persoalan yang dapat diperbincangkan terkait dengan tradisional dan tipologi desa di Indonesia, yakni: 1. Apakah pengertian Tradisional, Desa Swadaya, Swakarya dan Desa Swasembada ? 2. Apakah unsur-unsur yang terdapat didalamnya? 3. Bagaimana cirri-cirinya? 4. Apakah perbedaan dari masing-masing desa tersebut? Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui hakikat dari Tradisional serta desa Swadaya, Swakarya dan Swasembada. 2. Untuk mengetahui norna dan ciri dari masing-masing materi. 3. Untuk dapat menilai yang mana yang lebih baik diantaranya. 4. Dengan ini mudah-mudahan masalah yang terdapat didalamnya dapat terpecahkan. BAB II PEMBAHASAN TRADISIONAL, DESA SWADAYA, DESA SWAKARYA, DAN DESA SWASEMBADA A. TRADISIONAL Tradisional berasal dari bahasa latin yaitu “traditum” yang memiliki makna transmitted yaitu pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya . Tradisional erat kaitannya dengan kata “tradisi” yang berasal dari bahasa latin: traditio yang artinya “diteruskan”. Tradisi merupakan suatu tindakan dan kelakuan sekelompok orang dengan wujud suatu benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui fikiran dan imaginasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu norma, nilai, harapan dan cita-cita tanpa ada batas waktu yang membatasi. Dari konsep tradisi tersebut di atas, maka lahirlah konsep tradisional. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat (Sajogyo, Pudjiwati, 1985:90) . Didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. Seseorang akan merasa yakin bahwa suatu tindakannya adalah betul dan baik, bila dia bertindak atau mengambil keputusan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Dan sebaliknya, dia akan merasakan bahwa tindakannya salah atau keliru atau tidak akan dihargai oleh masyarakat bila ia berbuat diluar tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Disamping itu berdasarkan pengalaman atau kebiasaannya, dia akan tahu persis mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Oleh karena itu, sikap tradisional adalah bagian terpenting dalam sistem tranformasi nilai-nilai kebudayaan. 1. Ciri-Ciri Tradisional. Menurut Redfield (Ifzanul, 2010:1) , ciri-ciri tradisional anatara lain: a. Belum adanya perkembangan pengetahuan dan teknologi. b. Semakin kecil dan dipencilkannya lingkup masyarakatnya dari daerah lainnya, maka rasa cinta pada cara hidupnya akan semakin sulit untuk diubah. c. Tidak mengenal adanya “pembagian kerja” dan spesialisasi. d. Belum terinspirasi dengan diferensiasi kemasyarakatan. e. Kebudayaan yang terbentuk masih sangat homogen. 2. Aspek-Aspek Tradisional: Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dalam kehidupan tradisional masih cenderung memegang teguh suatu tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat sebagai transformasi terhadap nilai-nilai yang dianggap sesuai. Proses tranformasi terhadap nilai-nilai yang ada ini dapat diwujudkan dalam segala aspek/ bidang yang meliputi: bidang ekonomi, mata pencaharian, budaya, politik, sosial, maupun teknologi. a. Bidang Ekonomi dan Contohnya Dalam bidang ekonomi tradisional, uang dirasa tidak begitu penting. Meski mereka juga membutuhkan uang dalam memenuhi kebutuhannya, mereka tidak antusias untuk mendapatkan uang. Investasi uang secara berlebih biasanya dengan menggunakan cara investasi dalam bentuk perhiasan. Pola berbelanjaan tradisional adalah dengan berbelanja setiap hari, karena penghasilan yang didapat setiap harinya pun tidak begitu besar. Meski demikian, ekonomi tradisional ini biasanya semakin mengentalkan kesederhanaannya dengan adanya ucapan syukur dengan hidup. b. Bidang Mata Pencaharian dan Contohnya Mata pencaharian kehidupan tradisional sangatlah tidak menentu. Hal ini dikarenakan tradisional masih banyak yang tidak mengenal adanya spesialisasi kerja pada konsep secara tradisional. Sehingga berpengaruh terhadap penghasilan yang tidak tetap yang tidak bisa selalu diharapkan setiap saat. Maka, taraf hidupnya pun masih sangat rendah sekali. Contoh : Petani, nelayan. c. Bidang Budaya dan Contohnya (tata kehidupan, pola kultur dan karakteristiknya) Tata kehidupan tradisional secara geografis sebagian besar terdapat pada daerah pedalaman yang jauh dari keramaian kota yang meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan sekelompok orang, secara fisik, tata kehidupannya selalu diwarnai dengan kehijauan alamnya, dan dianggap sebagai tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya atau kepercayaan yang bersifat khusus atau unik pada suatu kelompok tertentu. Pada tata kehidupan tradisional, kebudayaan yang terlihat misalnya dari bentuk bangunan tradisional yang biasanya diterapkan pembangunannya melalui rumah tradisional atau rumah adat yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasi. Berlatar belakang religi, baik secara konsep, pelaksanaan pembangunannya maupun wujud bangunannya, misalnya adanya upacara pemasangan tiang pertama, selamatan/ kenduri, penentuan waktu yang tepat, arah hadap rumah, bahan bangunan yang digunakan dan sebagainya yang dipercaya bisa membawa pengaruh terhadap kehidupan penghuninya, menyangkut keselamatan, kabahagiaan, kemujuran, rejeki dan lain sebagainya . Pola kultur tradisional cenderung kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama yang merupakan suatu aturan yang sudah sesuai dan mencakup segala konsepsi sistem budaya dalam mengatur tindakan atau perbuatan dalam kehidupan sosialnya. Jadi, pola kultur tradisional di dalam melangsungkan kehidupan berdasarkan pada cara atau kebiasaan lama yang masih diwarisi dari para pendahulu dan tidak mengalami perubahan mendasar karena peranan adat-istiadat sangat kuat menguasai pola kultur tradisional. d. Bidang Politik dan Contohnya Manusia sederhana (tradisional) masih bersikap untuk berpikir secara massif (pola pikir yang tidak objektif dan rasional) untuk menganalisis, menilai dan menghubungkan suatu gejala dengan gejala yang lain. Manusia yang hidup tradisional (sederhana) biasanya masih ditandai dengan sikap berpikir analogis dengan mengadakan generalisasi, penggunaan waktu secara subjektif serta kurang mengenal waktu secara fisik. Manusia tradisional menimbang segala-galanya dengan prinsip-prinsip yang telah baku, mereka cenderung untuk berubah sangat lambat. Politik tradisional masih sangat sedikit peminatnya, karena lemahnya daya kritis manusia tradisional terhadap politik. Contoh: golput pada pemilu daerah atau pemilu presiden. e. Bidang Sosial dan Contohnya Manusia tradisional sangat menonjolkan kedudukan. Semakin tinggi kedudukan seseorang/ lapisan sosial maka akan semakin dihormati oleh masyarakat di sekitarnya. Pelapisan sosial terjadi dengan sendirinya, dimana kedudukan seseorang pada suatu strata tentu terjadi secara otomatis, misalnya karena usia yang tua, pemilikan kepandaian yang lebih atau memiliki bakat seni atau sakti. Pola hubungan sosial pada manusia tradisional sangat terasa sekali dibandingkan manusia modern karena manusia tradisional senantiasa bergotong royong dalam segala hal sehingga manusia tradisional cenderung memiliki rasa sosialisasi tinggi terhadap orang lain yang ditandai oleh kesadaran golongan yang tinggi dimana mereka merasa bahwa mereka mempunyai persamaan-persamaan tertentu. Struktur sosial antara golongan atas (seperti orang kaya, berpangkat , dan dan golongan bawah (seperti petani, buruh , dan lain-lain) tidak sebagai pembeda dan yang dapat membuat adanya jarak sosial dalam pergaulan. Namun, manusia tradisional gampang tertipu atau terhasut oleh orang lain karena cenderung tidak berpikir panjang dan mementingkan kelompok. Banyak manusia tradisional dipedesaan menyerang desa lain hanya karena masalah sepele, misalnya karena kata-katanya tidak didengar oleh warga pedesaan lain, warga ini merasa tersinggung lalu mengadu domba warganya untuk menyerang warga pedesaan lain tersebut. Pada konsep tradisional, lembaga adat berfungsi sebagai pengendalian sosial. Lembaga adat mengatur perilaku manusia agar tidak melakukan perilaku menyimpang. Pelaku penyimpangan sosial akan dihukum seperti: ditegur, dikenakan denda atau sanksi, dikucilkan atau diusir dari lingkungan masyarakatnya. f. Bidang Teknologi dan Contohnya Alat-alat perlengkapan hidup dalam manusia tradisional masih menggunakan alat-alat teknologi sederhana. Misalnya, pakaian terbuat dari kulit atau tenun kasar, rumah terbuat dari kayu, bambu dan atapnya menggunakan alang-alang atau ijuk. Alat-alat transportasi sangat sederhana, misalnya mempergunakan kuda, kerbau, gerobak, rakit atau mereka senang berjalan kaki. Manusia tradisional dalam penerapan teknologi sangat terbatas dibandingkan manusia modern. Konsep tradisional cenderung kurang mengikuti perkembangan teknologi karena bagi mereka teknologi kurang menunjang dan bukan prioritas utama dalam kebutuhan hidup. Perkembangan teknologi dalam manusia tradisional tidak terlalu pesat. Inovasi terpenting teknologi tradisional adalah dari sudut bahan dasar dan fungsi. Teknologi tradisional tergantung pada beberapa bidang misalnya: 1. Komunikasi: masih menggunakan surat, burung merpati, maupun dari mulut ke mulut. 2. Ekonomi/ perdagangan: alat tukar masih menggunakan sistem barter. 3. Pertanian: masih menggunakan alat yang sederhana seperti membajak dengan tenaga hewan, dll. 3. Faktor-Faktor Penghambat Proses Kemajuan Tradisional Kehidupan. Dalam menghadapi suatu perubahan, seseorang atau masyarakat tentunya memiliki frekuensi yang berbeda-beda, ada yang lambat maupun cepat. Pada konsep tradisonal itu sendiri, seseorang ataupun masyarakat cenderung sulit untuk menerima adanya perubahan-perubahan. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor yang mengikutinya, antara lain: a. Permasalahan kebutuhan Orang-orang tradisional menganggap tidak memerlukan banyak kebutuhan. Hal ini dikrenakan kehidupan orang-orang tradisonal sangatlah sederhana. Sehingga, mereka merasa sudah cukup dengan apa yang dimilikinya. b. Masyarakat yang menutup diri Kecenderungan yang dimiliki orang tradisional yang paling mendasar adalah sikap menutup diri dari pengaruh luar. Mereka cenderung statis dan sangat sulit untuk diajak berubah. Mereka merasa begitu kental dengan tradisi nenek moyang yang diwariskan kepadanya. Jika ia meninggalkan tradisi-tradisi tersebut, maka dianggap telah melanggar tradisi yang telah ada. c. Pendidikan Faktor pendidikan disini yang dimaksudkan adalah tingkat pendidikan yang mereka tempuh. Kebanyakan orang tradisional menganggap remeh adanya seseorang yang berpendidikan tinggi. Karena menurut anggapan mereka pendidikan itu tidaklah penting untuk kehidupan selanjutnya. d. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain Dalam berhubungan dengan kelompoknya, orang-orang tradisional terlihat begitu erat sekali tali persaudaraan atau rasa kekeluargaan yang dimilikinya. Namun, karena sulitnya mereka menerima pengaruh dari luar, maka untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar pun juga cenderung sulit. e. Perkembangan iptek yang terhambat Konsep tradisional memberikan gambaran bahwa teknologi yang digunakan sangat sederhana. Karena adanya rasa yang timbul pada kebiasaan mereka bahwa: “sesuatu yang sederhana saja bisa digunakan. Mengapa harus memakai teknologi canggih yang bisa merusak segala sesuatu dengan cepat?”. f. Sikap masyarakat yang tradisional yang takut dengan adanya perubahan Pemikiran yang selalu bersatu dalam kelompoknya ternyata malah menimbulkan dampak buruk terhadap psikis mereka dengan timbul rasa takut. Mereka menganggap bahawa dengan adanya perubahan, maka dapat menghilangkan nilai maupun norma yang telah mereka jaga selama ini. g. Ketakutan akan terjadi kegoyahan dalam sistem sosial apabila terjadi perubahan. Dari adanya rasa takut yang muncul pada orang-orang tradisional, menimbulkan ketakutan akan kegoyahan dalam sistem sosial yang telah terbentuk selama ini. h. Prasangka terhadap hal baru Karena adanya kestatisan yang mereka miliki, prasangka mereka terhadapa hal baru, seperti adanya teknologi baru yang muncul, memberikan kesan berbeda pada orang-orang tradisional. Masyarakat Tradisional Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kehidupan mereka belum terlalu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berasal dari luar lingkungan sosialnya. Kebudayaan masyarakat tradisional merupakan hasil adaptasi terhadap lingkungan alam dan sosial sekitarnya tanpa menerima pengaruh luar. Jadi, kebudayaan masyarakat tradisional tidak mengalami perubahan mendasar. Karena peranan adat istiadat sangat kuat menguasai kehidupan mereka. Masyarakat taradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak dipedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut pedesaan atau masyarakat desa. Namun demikian, perlu kita pahami bahwa tidak semua masyarakat desa dapat kita sebut sebagai masyarakat tradisional, sebab ada desa yang sedang mengalami perubahan ke arah kemajuan dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Jadi, masyarakat desa yang dimaksud sebagai masyarakat tradisional dalam pembahasan ini adalah mereka yang berada di pedalaman dan kurang mengalami perubahan atau pengaruh dari kehidupan kota. Ciri yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam itu. Pola kehidupan masyarakat tradisional ditentukan oleh tiga factor: 1. Ketergantungan terhadap alam 2. Derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam 3. Struktur social yang berkaitan dengan dua factor ini, yaitu struktur social geografis serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah. Ciri-ciri masyarakat tradisional menurut Talcott Parson : 1. Afektifitas : yaitu hubungan antar anggota masyarakat didasarkan pada kasih saying. 2. Orientasi kolektif yaitu lebih mengutamakan kepentingan kelompok/kebersamaan. 3. Partikularisme yaitu segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan. 4. Askripsi yaitu segala sesuatu yang dimiliki diperoleh dari pewarisan generasi sebelumnya. 5. Diffuseness ( kekaburan ) yaitu dalam mengungkapkan sesuatu dengan tidak berterus-terang. Tambahan: 1. Masyarakat yang terikat kuat dengan tradisi. 2. Masyarakatnya homogen ( hampir dalam segala aspek). 3. Sifat pelapisan sosialnya “tertutup “ 4. Mobilitas sulit terjadi. 5. Perubuhan terjadi secara lambat. 6. Masyarakatnya cenderung tertutup terhadap perubahan. DESA Pengertian Desa, atau udik, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung {Banten, Jawa Barat} atau dusun {Yogyakarta} atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara. Desa adalah sekelompok rumah diluar kota yang merupakn kesatuan atau kampubg diluar kota/ dusun . Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 22/1948 menjelaskan bahwa desa adalah bentuk daerah otonom yang terendah sesudah kota. Konsep desa tersebut dengan sendirinya berubah lagi bersamaan dengan lahirnya undang-undang No. 5/1975. Undang-Undang ini menciptakan tipologi desa di Indonesia (Deppen, 1984) Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, dan di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat. Menurut Sutardjo Kartohadikusumo, Dinyatakan bahwa: “Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri” . Sebenarnya desa itu adalah sebuah hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil perpaduan tersebut ialah suatu kenampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsure-unsur fisiografi, social, ekonomi, politik, dan cultural yang saling berinteraksi antar unsure tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain. Pengertian atau pemahaman orang seorang tentang konsep desa dan pedesaan itu kelihatannya amat berbeda dari satu kwasan ke kawasan yang lain, bereda dari satu negara ke negara yang lain. Dengan demikian, mungkin sekali juga bahwa konsep sosiologi pedsaan itu berbeda dari satu lokasi ke tempat yang lain. Oeh karena itu, kita perlu memahami benar terlebih dahulu konsep atau pengertian pedesan itu . Umumnya kita hampir semua mengetahui bahwa perkataan “pedesaan” (jadi, merujuk pada suatu daerah desa dan di sekitarnya) padan dengan kata rural itu mudah memahaminya. Tetapi, jika ita harus memberikan definisi atas perkataan itu, agaknya sukar mengemukakannya secara utuh. Ini agaknya bersumber dari konsep pedesaan yang berbeda-beda dari kedua bahasa tersebut. Perbedaan konsep tersebut dapat ditinjau dari berbagai tempat berpijak. Desa dan pedesaan, misalnya, akan terlihat jelas bila keduanya diperbandingkan dengan kota dan perkotaan. Masyarakat desa adalah sekelompok orang yang hidup bersama, bekerja sama, dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Istilah desa dapat merujuk pada arti yang berbeda-beda, tergantung dari susut pandangnya. Secara umum desa memiliki tiga unsure, yaitu: 1. Daerah dan letak, yang diartikan sebagai tanah yang meliputi luas lokasi dan batas-batasnya yang merupakan lingkungan geografis 2. Penduduk, meliputi jumlah, struktur umur, struktur mata pencarian yang sebagian bear bertani serta pertumbuhannya. 3. Tata kehidupan, meliputi corak atau pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan warga desa. Ketiga unsure dari desa tersebut tidak terlepas satu sama lain, mlainkan merupakan satu kesatuan secara sosiologis Secara sosiologis pengertian desa memberikan penekanan pada kesatuan masyarakat pertanian dalam suatu masyarakat yang jelas menurut susunan pemerintahannya. Bila kita amati secara fisik, desa diwarnai dengan kehijauan alamnya, kadang-kadang dilingkungi gunung-gunung, lembah-lembah atau hutan, dan umumnya belum sepenuhnya digarap manusia. Secara sosial kehidupan di desa sering dinilai sebagai kehidupan yang tenteram, damai, selaras, jauh dari perubahan yang dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, desa dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran atau melepaskan lelah dari kehidupan kota. Akan tetapi, sebaliknya, adapula kesan yang menganggap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, sulit menerima pembaharuan, mudah ditipu dan sebagainya. Kesan semacam ini timbul karena masyarakat kota hanya mengamati kehidupan desa secara sepintas dan kurang mengetahui tentang kehidupan mereka sebenarnya. Fungsi desa adalah sebagai berikut: • Desa sebagai hinterland (pemasok kebutuhan bagi kota) • Desa merupakan sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan • Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota • Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia Tipologi Desa Di Indonesia Istem klasifikasi dan tipologi desa merupakan cara untuk mengenal desa-desa yang begitu banyak jumlah dan beragam bentuknya. Dengan demikian dapat dijelaskan secara detail setiap arah perkembangannya. Di Indonesia, sistem klasifikasi dan tipologi desa didasarkan atas pendekatan ekosistem. Pendekatan ini, dapat diidentifikasikan adanya sepuluh factor yang menentukan tingkat perkembangan sebuah desa, yaitu sebagai berikut: a. Factor penduduk (D-Density) b. Factor alam (N-nature) c. Factor orbitrasi desa d. Factor mata pencaharian e. Factor pendapatan desa f. Factor adat istiadat g. Factor kelembagaan h. Factor pendidikan i. Factor gotong royong j. Factor prasarana desa . Di Indonesia, tahap-tahap perkembangan sebuah desa dapat diklasifikasikan kedalam kelas-kelas sebagai berikut: a. Pradesa, dicirikan dengan adanya kelompok masyarakat yang belum menetap pada suatu lokasi yang disebut desa b. Desa swadaya atau disebut juga desa tradisional c. Desa swakarya atau disebut juga desa transisi d. Desa swasembada atau disebut juga desa maju atau berkembang. Tipologi yang diketengahkan oleh Undang-undang No. 5/1975 dimulai dengan bentuk (pola) desa yang paling sederhana sampai bentuk pemukiman yang paling kompleks namun masih tetap dikategorikan sebagai pemukiman dalam bentuk desa. Tipologi desa di Indonesia tersebut ialah: B. Swadaya Desa ini adalah desa yang sifatnya masih tradisional, adat istiadatnya masih sangat mengikat, hubungan antar manusia masih sangat erat. Tipe atau bentuk desa yang berada pada tingkat yang lebih baik disebut swadaya. Desa ini bersifat sedenter, artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap disana. Norma-norma yang terdapat pada desa ini adalah sebagai berikut : • Mata pencaharian penduduk terutama di sector primer yaitu sebgian besar penduduk hidup dari pada pertanian, peternakan, nelayan dan percaharian hasil hutan • Yield/ out put desa adalah jumlah dari seluruh produksi desa yang dinyatakan dalam nilai rupiah dibidang pertanian, perkebunan, perternakan, kerajinan/industry, jasa perdagangan, pada umumnya masih rendah. • Adat istiadat dan kepercayaan pada umumnya masih meningkat. • Kelambagaan dan pemerintahan desa ini sederhana baik tugas maupun fungsinya • Pendidikan dan keterampilan penduduk masih rendah. • Swadaya dan kegotong-royongan dalam pembangunan masih harus disertai dengan anjuran dan diarahkan, mengingat teknilogi yang dikuasainya msih rendah serta pengaruh adat masih kuat. • Prasarana desa yang masih meliputi prasarana perhubungan, produksi, pemasaran dan osial masih kurang, serta belum memadai dengan kebutuhannya. Kebanyakan desa-desa seperti ini jauh dari pusat-pusat kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, prasarana sering krang memadai dan kurang terpelihara. Tingkat pendidikan sebagai salah satu indicator tipologi desa ini belum berkembang. Hampir tidak ada penduduk yang menyelesaikan pendidikan. Pada intinya desa ini belum mampu menyelenggarakan uarusan rumah tangga sendiri, administrasi belum baik dan LKMD belum berfungsi dengan baik. C. Swakarya atau Transisi Desa Swakarya adalah desa yang setingkat lebih maju dari desa swadaya, dimana adat istiadat masyarakat desa sedang mengalami transisi, pengaruh dari luar sudah mulai masuk ke desa, yang mengakibatkan perubahan cara berpikir dan bertambahnya lapangan kerja di desa, sehingga mata pencaharian penduduk sudah mulai berkembang dari sector primer ke sector skunder, produktifitas mulai maningkat diimbangi dengan bertambahnya prasarana desa. Adat yang merupakan tatanan hidup bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan social budaya lainnya. Adopsi teknologi tertentu sering merupakan salah satu sumber perubahan itu. Adat tidak lagi terlalu ketat mempengaruhi atau menentukan pola perilaku anggota masyarakat. Perkawinan misalnya, tadinya dikendalikan oleh keluarga mulai melonggar dengan memberikan kesempatan bagi para calon untuk memilih da menentukan jodohnya sendiri-sendiri. Pengaruh unsure laur (asing, luar desa) sudah mulai iku mempengaruhi atau membentuk perilaku masyarakat yang baru melalui berbagai adopsi teknologi dalam arti yang laus . Norma-norma desa swakarya : • Mata pencaharian penduduk di sector, yaitu sudah mulai bergerak dibidang kerajinan dan industry kecil, seperti pengolahan hasil, pengawetan bahan makanan dsb. • Yield/ out put desa adalah merupakan jumlah dari seluruh produksi desa yang dinyatakan dalam nilai rupiah dibidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan dan industry kecil, perdagangan dan jasa berada pada tingkat sedang. • Adat istiadat dan kepercayaan penduduk berada pada tingkat transisi • Kelembagaan dan pemerintahan desa milai berkembang, baik tugas maupun fungsinya • Pendidikan dan keterampilan penduduk pada tingkat sedang • Swadaya dan gotong royong masyarakat sudah mengalami transisi, artinya pelaksanaan dan cara kerja gotong-royong sudah mulai efektif dan tumbuh adanya rasa kesadaran dan tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri • Prasarana perhubungan, produksi, pemasaran dan social berada pada tingkatan sedang, mulai memadai baik kualitas maupun kuantitas Desa swakarya yang merupakan peralihan atas transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada. Oleh karena itu, desa swakarya disebut juga desa transisi. Desa swakarya ialah desa yang masyarakatnya telah berkeinginan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya untuk membangun daerahnya . Pada intinya desa swakarya adalah desa yang mulai mampu menyelenggarakan rumah tangga sendiri, administrasi cukup baik, dan LKMD mulai berfungsi menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembangunan . D. Swasembada atau Berkembang Desa swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembngkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional . Desa swasembada adalah desa yang setingkat lebih maju dari desa swakarya, dimana adat istiadat masyarakat sudah tidak mengikat, hubungan antar manusia bersifat nasional. Mata pencaharian penduduk sudah beraneka ragam dan bergerak di sektok tertier, teknologi baru sedah benar-benar dimanfaatkan dibidang pertanian, sehingga produktivitasnya tinggi. Diimbangi dengan prasarana desa yang cukup . Pola desa terbaik dari bentuk-bentuk desa yang terdahulu. Prasarana desa sudah baik. Bentuk desa bervariasi, tetapi rata-rata memenuhi syarat-syarat pemukiman yang baik. Para pemukim disana sudah banyak yang berpendidikan setingkat dengan sekolah menengah atas . Norma-norma Desa Swasembada (Berkembang) ialah: • Mata pencaharian di sector tertier yaitu sebagian besar penduduk bergerak dibidang perdagangan dan jasa • Yield/ out put desa adalah merupakan jumlah dari seluruh produksi desa yang dinyatakan dalam nilai rupiah dibidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan/industry kecil, perdagangan dan jasa sudah tinggi. • Adat istiadat dan kepercayaan penduduk sudah tidak mengikat atau maju • Kelembagaan dan pemerintahan desa sudah efektif baik dalam hal penigasan-penugasan maupun fungsinya dan telah ada kondisi yang sebaik-baiknya dalam perencanaan dan pengembangan di pedesaan • Pendidikan dan keterampilan penduduk ditingkatannya sudah tinggiswadaya dan gotong-royong masyarakata sudah manifest, artinya pelaksanaan dan cara kerja kegotongroyongan berdasarkan musyawarah/mufakat antara warga masyarakat dengan penuh rasa kesadaran dan tanggung jawab yang selaras dengan norma-norma perkembangan atau kemajuan zaman. • Prasaran produksi, perhubungan pemasaran dan social cukup memadai serta hubungan kota-kota sekitarnya telah berjalan lancar. Intinya, Desa swasembada (desa maju), adalah desa yang sudah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, administrasi baik, dan LKMD sudah berfungsi menggerakkan masyarakat berperan dalam pembangunan. BAB III KESIMPULAN A. Tradisional Tradisional erat kaitannya dengan kata “tradisi” yang berasal dari bahasa latin: traditio yang artinya “diteruskan”. Tradisi merupakan suatu tindakan dan kelakuan sekelompok orang dengan wujud suatu benda atau tindak laku sebagai unsur kebudayaan yang dituangkan melalui fikiran dan imaginasi serta diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang didalamnya memuat suatu norma, nilai, harapan dan cita-cita tanpa ada batas waktu yang membatasi. B. Desa Dari uraian diatas sedikit banyak kita dapat memperoleh banyak memperoleh gambaran tentang kompleksitas dari pada masyarakat pedesaan dilain pihak. Walaupun sebenarnya tidak perlu membedakan kondisi geografis maupun fisik, antara perkotaan dengan pedesaan, tetapi kiranya sangat perlu untuk mengetahui cirri-ciri karakteristik antara keduanya sebab dengan mengetahui cirri-ciri antara masyarakat kota dengan masyarakat desa, kita dapat mengetahui masalah-masalah social yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Demikian selanjutnya kita dapat memeberikan masukan untuk membantu memecahkan masalah social baik untuk masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Pemerintah telah memeberikan bantuan dalam hal pengembangan desa. Pembangunan itu dilaksanakan dalam rangka imbangan kewajiban yang serasi antara pemerintah dengan masyarakat desa. Pemerintah memberikan bimbingan, pembinaan, pengarahan, pengawasan, dan bantuan teknis, serta bantuan lainnya untuk meningkatkan swadayangotong royong masyarakat untuk selanjutnya dapat berkembangsendiri sesuai dengan tingkat perkembangan desa dari Desa Swadaya ke Desa Swakarya dan Desa Swasembada. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern. Pustaka Amani: Jakarta. Hartomo. IlmuSosial Dasar. Bumi Aksara: Jakarta. 1990 Sugihen, Bahreint. Sosiologi pedesaan (suatu pengantar). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1996 Hartono. Geografi (Jelajah Bumi Dan Alam Semesta). PT Grafindo Media Pratama: Jakarta. 2007 G. Karta Sapoetra, Dkk. Desa Dan Daerah Dengan Tata Pemerintahannya. Bina Aksara: Jakarta. 1986 Utoyo, Bambang. Geografi (Membuka Cakrawala Dunia). Grafindo Media Pratama: Jakarta. 2007 http://id.shvoong.com/social-sciences/1995193-ciri-desa-swasembada-dan-desa/#ixzz2ML0UDXox http://id.shvoong.com/social-sciences/1995193-ciri-desa-swasembada-dan-desa/ http://chakuyya.blogspot.com/2012/12/interaksi-budaya-perbedaan-masyarakat.html http://nisha-mga.blogspot.com/2012/09/konsep-tradisional-dan-modern.html